Oleh : M. Hary Panuju, Ishmah Nurhidayati, Laely Savitry, Yuli Dwi S., Eka Wahyu R.
Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2016)
I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari sering kita amati adanya perbedaan status dan peranan antar warga,
baik di lingkungan keluarga atau pun masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat
yang lebih luas perbedaan tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan, misalnya
ada orang kaya dan ada orang miskin, ada orang yang berkuasa dan ada orang
tidak berkuasa, serta ada orang yang dihormati dan ada orang yang tidak di
hormati. Gejala di atas menunjukan adanya perbedaan- perbedaan bertingkat dalam
masyarakat.
Perbedaan
bertingkat tersebut dinamakan pelapisan sosial. Pelapisan sosial bersifat umum
atau universal artinya selalu di temukan pada setiap kelompok sosial, baik pada
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Ada beberapa pendapat pakar
tentang pelapisan sosial salah satunya adalah Plato, seorang filsuf (pemikir)
yunani, mengatakan bahwa masyarakat negara dapat dibedakan menjadi tiga
golongan yakni filsuf sebagai pemimpin negara, prajurit sebagai penjamin
terlaksana hukum negara, dan rakyat (petani) sebagai warga negara. Adanya
perbedaan dalam masyarakat juga di temukan pada murid plato yaitu aristoteles.
Ia mengatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu mereka
yang kaya sekali, yang melarat dan yang ada diantara keduanya.
Pendapat kedua
pemikir tersebut mengisaratkan bahwa pada zaman kuno, manusia telah mengenal
adanya pelapisan-pelapisan dalam masyarakat dalam wujud perbedaan golongan.
Jadi pelapisan sosial itu adalah perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang
tinggi sampai ke yang lebih rendah.atas menunjukan adanya
perbedaan- perbedaan bertingkat dalam masyarakat.
1.2. Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian status dan pelapisan masyarakat
2.
Mengetahui
bagaimana terjadinya lapisan-lapisan dalam masyarakat
3.
Mengetahui
dasar-dasar lapisan-lapisan dalam masyarakat
4.
Mengetahui
perlunya sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Pengertian Status Dan Pelapisan Masyarakat
Menurut Pitirim
A. Sorokin, pelapisan sosial yakni pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas
tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selenjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti
lapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan
kewajiban serta tanggung jawab nilai-nilai sosial (Soekanto, 2012).
Sedangkan menurut Theodorson dkk, di dalam
Dictionary of Sociology, “Pelapisan Penduduk berarti jenjang status dan peranan
yang relatif permanen yangg terdapat di dalam sistem sosial (dari grup mungil
hingga ke penduduk) di dalam pembedaan hak, pengaruh, dan kekuasaan. Penduduk
yangg berstratifikasi sering dilukiskan juga sebagai satu buah kerucut atau
piramida, di mana lapisan bawah yaitu paling lebar dan lapisan ini menyempit ke
atas (Rahmawati, 2013).
2.2. Terjadinya Lapisan-Lapisan Dalam Masyarakat
Adanya sistem lapisan masyarakat
dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat. Akan
tetapi, ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan
bersama. Alasan terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya
adalah kepandaian, tingkat umur, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang
kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu.
Alasan-alasan yang dipakai berlainan bagi tiap-tiap masyarakat. Ada masyarakat
lain yang menganggap kerabat kepala masyarakatlah yang mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam masyarakat, misalnya pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Selatan (Soekanto,
2012).
Secara teoritis, semua manusia dapat
dianggap sederajat. Akan tetapi, sesuai dengan kenyataan hidup
kelompok-kelompok sosial. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universitas
yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat. Pedoman untuk meneliti
pokok-pokok terjadinya proses lapisan dalam masyarakat yaitu:
1.
Pada
sistem pertentangan yang ada dalam masyarakat, sistem demikian hanya mempunyai
arti khusus bagi masyarakat-masyarakat tertentu.
2.
Sistem
lapisan dapat dianalisis dalam arti-arti.
a.
Distribusi
hak-hak istimewa yang objektif seperti misalnya penghasilan, kekayaan,
keselamatan (kesehatan, laju kejahatan)
b.
Sistem
pertanggaan yang diciptakan oleh para warga masyarakat (prestise dan
penghargaan)
c.
kriteria
sistem pertentangan dapat bedasarkan kualitas pribadi, keanggotaan, kelompok
kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan
d.
lambing-lambang
kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan
pada suatu organisasi.
e.
Mudah
sukarnya bertukar kedudukan
f.
Solidaritas
diantara individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki kedudukan yang
sama dalam sistem sosial masyarakat (Soekanto, 2012).
Seperti yang telah diuraikan, ada pula sistem lapisan yang dengan
sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Hal tersebut biasanya
berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang resmi dalam
organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik,
angkatan bersenjata atau perkumpulan. Kekuasaan dan wewenang merupakan unsur
khusus dalam sistem lapisan (Soekanto, 2012).
2.3. Dasar-Dasar Lapisan-Lapisan Dalam Masyarakat
Diantara lapisan atasan dengan yang terendah, terdapat lapisan yang jumlahnya relatif banyak. Biasanya lapisan atasan tidak hanya memiliki
satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Akan tetapi, kedudukanya yang tinggi itu
bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang
mempunyai uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan
mungkin juga kehormatan. Ukuran atau
kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat
kedalam suatu lapisan adalah sebagai berikut :
1. Ukuran kekayaan
Barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan
teratas. Kekayaan tersebut misalnya,
dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersngkutan, mobil pribadinya,
cara-caranya mempergunakan pakain serta bahan pakaian yang dipakainya,
kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
2. Ukuran kekuasaan
Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar
menempati lapisan atasan.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran ini mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau
kekuasaan. Orang yang paling disegani
dan dihormati, mendapat tempat yang teratas.
Ukuran semacam ini, banyak dijumpai oada masyarakat-masyarakat tradisional.
Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai
ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran
tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena
ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar
kesarjanaannya (Soekanto, 2012).
Ukuran diatas tidaklah bersifat limitatif
karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran diatas amat
menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia, golongan pembuka tanahlah yang dianggap menduduki lapisan
tertinggi. Kemudian menyusul para
pemilik tanah yang walaupun bukan keturunan pembuka tanah, mereka disebut
pribumi,sikep atau kuli kenceng.
Selanjutnya mereka yang hanya mempunyai pekarangan atau rumah saja (golongan
ini disebut kuli gundul), dan akhirnya mereka hanya menumpang saja ditanah
orang lain (Soekanto, 2012).
Lapisan atasan masyarakat tertentu, dalam
istilah sehari-hari juga dinamakan “elite”.
Jadi disini yang pokok adalah nilai anggota, dan biasanya lapisan atasan
merupakan golongan kecil dalam masyarakat yang mengendalikan masyarakat
tersebut. Kekayaan dapat dijumpai pada
setiap masyarakat dan dianggap sebagai hal yang wajar, walaupun kadang-kadang
tidak disukai oleh lapisan-lapisan lainnya apalagi bila pengendaliaannya tidak
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat umumnya (Soekanto, 2012).
2.4. Perlunya Sistem Berlapis-Lapis Dalam
Masyarakat
Setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat
tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat penempetan tersebut. Dengan demikian,
masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu menempatkan individu tersebut dan
mendorong agar mereka melaksanakan kewajibannya. Apabila kewajiban selalu
sesuai dengan keinginan individu dan sesuai dengan kemampuannya maka
persoalannya tak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidaklah demikian dikarenakan kedudukan dan peranan tertentu
sering memerlukan kemampuan dan latihan tertentu. Hal yang paling penting
adalah individu mendapat hak-hak yang merupakan himpunan kewenangan untuk
melakukan tindakan atau untuk tidak berbuat sesuatu. Sering pula dijumpai
hak-hak yang secara tidak langsung berhubungan dengan kedudukan dan peranan
seseorang. Hak-hak tersebut di lain pihak juga mendorong individu untuk
memperoleh kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat. Siapapun ingin
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat misalnya, karena dengan menduduki
kedudukan tersebut akan diperoleh pula hak-hak tertentu (Soekanto,
2012).
Dengan demikian, sistem lapisan diperlukan masyarakat karena gejala
tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yaitu
penempatan individu dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan
mendorongnya agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta
perananya. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang dianggap tertinggi oleh
setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan yang dianggap terpenting serta
memerlukan kemampuan dan latihan yang makimal. Oleh sebab itu, pada umumnya
warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila
dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower
class) (Soekanto,
2012).
III. PEMBAHASAN
3.1. Artikel
Diposkan oleh : viva.co.id
Pada : Jum'at, 3 Mei 2013 pukul 06:12 WIB
Pendidikan
Kini Jadi Awal Stratifikasi Sosial?
VIVAnews – Hari Pendidikan Nasional selalu
diperingati tiap tahun tanggal 2 Mei 2013, berbarengan dengan tanggal lahir Ki Hajar
Dewantara, Menteri Pendidikan Nasional RI pertama yang merupakan pelopor
pejuang pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Ki
Hajar Dewantara pula yang mendirikan Perguruan Taman Siswa – lembaga pendidikan
yang memberikan kesempatan pada rakyat jelata untuk bisa memperoleh pendidikan
seperti layaknya golongan bangsawan dan orang-orang Belanda pada masa
pra-kemerdekaan RI.
Sampai
saat ini Taman Siswa masih ada di Yogyakarta dan memiliki cabang di berbagai
kota di Indonesia. Namun Rektor Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa, Drs H
Pardimin, mengungkapkan kekecewaannya dengan sistem pendidikan di Indonesia
saat ini, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Menurutnya, pendidikan
saat ini melenceng jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara.
“Ibarat
orang miskin tak boleh sakit karena biaya berobat mahal, maka orang miskin
seperti tak boleh sekolah tinggi karena pendidikan sekarang merupakan barang
mahal,” kata Pardimin kepada VIVAnews, Kamis 2 Mei 2013. Program-program
tertentu di perguruan tinggi pun membutuhkan biaya yang luar biasa mahal. Padahal,
ujar Pardimin, Ki Hajar Dewantara ingin mewujudkan pendidikan merata bagi semua
orang. Ini diperparah dengan biaya masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia
yang saat ini justru beberapa di antaranya lebih mahal ketimbang biaya masuk
perguruan tinggi swasta.
“Kalau
seperti ini, maka pupus sudah harapan orang miskin menyekolahkan anaknya ke
perguruan tinggi, karena perguruan tinggi milik pemerintah tak lagi berpihak
kepada masyarakat miskin yang kian hari jumlahnya bertambah, bukannya
berkurang,” kata Pardimin. Taman Siswa mendorong negara memberikan pendidikan
gratis bagi rakyatnya. Ia tidak setuju dengan anggapan kualitas pendidikan akan
memburuk apabila digratiskan. “Kalau pemerintah punya anggaran untuk
menggratiskan pendidikan, itu layak dicoba,” ujar Pardimin.
Secara
terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon juga mengkritik pendidikan
di RI yang saat ini bagai menjadi awal dari stratifikasi (pembedaan) sosial di
Indonesia. “Padahal konstitusi mengatur bahwa pemerintah atau negara harus
menyediakan pendidikan berkualitas dan merata bagi setiap anak bangsa,” kata
dia dalam catatan tertulis yang diterima VIVAnews. Berkembangnya sektor
swasta yang masuk ke ranah pendidikan, kata Fadli Zon, membuat negara
seolah lepas tanggung jawab dalam memberikan pendidikan layak dan unggul.
Akibatnya pendidikan cenderung menjadi industri untuk kepentingan bisnis,
semakin pragmatis dan komersial.
“Kita bisa
lihat dari adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan yang mendikotomikan sekolah
negeri standar internasional atau bukan. Semua ini membuat proses pendidikan
jadi wadah pemisah status sosial,” ujar Fadli Zon. Untuk itu ia
mengingatkan agar pendidikan jangan sampai menimbulkan kesenjangan sosial
antara mereka yang mampu dan tak mampu secara ekonomi. Pendidikan di Indonesia
harus bisa mencerdaskan dan memajukan semua anak bangsa, tanpa diskriminasi.Kesenjangan
sosial dalam pendidikan ini terlihat dari tingginya angka anak putus sekolah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh mengatakan ada 173 kabupaten yang
hingga kini program wajib belajar 9 tahunnya tak tuntas.
Untuk itu
Kemendikbud meluncurkan posko antiputus sekolah yang menyasar 173 kabupaten
itu, termasuk yang terletak di daerah terpencil atau pulau kecil. Kemendikbud
juga mengajak masyarakat umum untuk berpartisipasi menyukseskan posko antiputus
sekolah itu. “Kami ingin memastikan anak-anak Indonesia bisa melanjutkan ke
jenjang SMP dan SMA,” kata Nuh. Kini sebagai tahap awal, pemerintah telah
melakukan afirmasi dengan membangun 4.330 ruang kelas baru atau setara dengan
pembangunan 1.516 sekolah baru.
3.2. Tanggapan
Setelah membaca artikel dan membandingkannya dengan teori
yang telah disampaikan, didapatkan hasil diskusi kelompok kami yaitu pendidikan kini menjadi awal
stratifikasi sosial. Seperti yang disebutkan dalam kutipan artikel berikut ini.
“Ibarat
orang miskin tak boleh sakit karena biaya berobat mahal, maka orang miskin
seperti tak boleh sekolah tinggi karena pendidikan sekarang merupakan barang
mahal,”
Kutipan artikel di atas secara tidak
langsung menyatakan bahwa proses
pendidikan kini menjadi wadah pemisah status sosial dimana ukuran atau kriteria yang dipakai untuk menggolongkan adalah ukuran kekayaan. Biaya pendidikan yang mahal menimbulkan kesenjangan sosial
antara mereka yang mampu dan tak mampu secara ekonomi sehingga menciptakan
stratifikasi sosial. Kesenjangan sosial dalam pendidikan ini terlihat dari
tingginya angka anak putus sekolah Berkembangnya sektor swasta yang masuk ke
ranah pendidikan membuat negara seolah lepas tanggung jawab dalam memberikan
pendidikan layak dan unggul. Akibatnya pendidikan cenderung menjadi industri
untuk kepentingan bisnis, semakin pragmatis dan komersial. Pendidikan di
Indonesia seharusnya bisa mencerdaskan dan memajukan semua anak bangsa, tanpa
diskriminasi.
III. KESIMPULAN
Dari
Pembahasan yang telah disampaikan maka dapat disimpulkan bahwa
1. Pelapisan
sosial yakni pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (hierarkis).
2. Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya
dalam proses pertumbuhan masyarakat.
3. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota
masyarakat kedalam suatu lapisan adalah kekayaan, kekuasaan, kehormatan, ilmu pengetahuan.
4. Sistem lapisan diperlukan masyarakat karena gejala tersebut
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yaitu penempatan individu dalam
tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar
melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta perananya.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soejono.2012.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:
Rajawali Pers.
Rahmawati, Melina. 2013. Sistem Status dan Pelapisan Masyarakat
Desa. https://melinarahmaw15.wordpress.com/bahan-kuliah/sosilogi-pedesaan-dan-pertanian/sistem-status-dan-pelapisan-masyarakat-desa/ Diakses pada 2 April 2015 pukul 12:13 WIB
0 comments:
Post a Comment